Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar Asben Hendri, di Padang, Kamis (16/3) mengatakan, keberadaan minyak jelantah menjadi persoalan bagi lingkungan, terutama jika tidak dikelola dengan baik. Minyak jelantah dapat merusak lingkungan dan kesehatan jika digunakan kembali untuk penggorengan.
Hasil kajian yang dilakukan pada 2020, konsumsi minyak sawit di Indonesia 6,2 juta kiloliter pada 2019 dan dari jumlah itu menjadi minyak jelantah sebanyak 40 hingga 60 persen atau sekitar 6,46 juta hingga 9,72 juta kiloliter.
“Sayangnya minyak jelantah yang dapat dikumpulkan di Indonesia baru mencapai tiga juta kiloliter atau setara 18,5 persen dari total konsumsi minyak sawit Indonesia,” katanya.
Menurut Asben, kajian itu menunjukkan hanya sebagian kecil minyak jelantah yang dapat dikelola sebesar 570 kiloliter dari 3 juta kiloliter. Sisanya digunakan untuk minyak goreng daur ulang bahkan ekspor.
“Dari kajian itu dinilai rendahnya konversi minyak jelantah, karena belum adanya mekanisme pengumpulan minyak jelantah baik dari rumah tangga, restoran, hotel, dan rumah tangga,” kata dia.
Faktor lainnya, sebaran lokasi sumber minyak jelantah tidak simetris dengan lokasi pabrik pengolahan biodiesel, teknologi pengolahan yang belum cukup efisien dan kualitas biodiesel hasil minyak jelantah perlu diuji lebih jauh.
“Ini tentu menjadi tantangan bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan ini,” katanya lagi.
Sementara, dari sisi kesehatan, serapan minyak jelantah akan mengurangi alokasi penggunaan minyak jelantah didaur ulang menjadi bahan masakan, sehingga secara tidak langsung mengurangi risiko zat beracun yang mudah diserap makanan HNE yang dapat mengakibatkan penyakit stroke, alzheimer, dan parkinson bagi yang mengonsumsinya.
Kemudian, di sisi lingkungan pengolahan minyak jelantah sebagai biodiesel, karena berdampak positif terhadap penggunaan limbah B3.
“Kami apresiasi Kelompok Saiyo Jelantah yang diinisiasi anak muda yang akan mendukung upaya pengelolaan dan pengolahan minyak jelantah. Mengolah minyak jelantah sama dengan menjaga lingkungan dan ekosistem,” kata dia pula.
Ketua Komunitas Saiyo Jelantah Dicky Kurnia mengatakan, bahaya minyak jelantah bagi lingkungan begitu besar. Sayangnya, hal itu belum disadari oleh masyarakat luas sehingga pihaknya mencoba mengambil peran dalam hal tersebut.
“Komunitas ini kami inisiasi untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya minyak jelantah atau minyak goreng yang telah dua atau tiga kali digoreng,” kata dia.
Menurut Dicky, minyak goreng bekas itu harus dikelola dengan baik dan kalau bisa dapat diuangkan, sehingga memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.
“Saat ini sudah ada sejumlah bank sampah yang menerima minyak jelantah dari masyarakat dan ditukar dengan uang atau simpanan dalam bentuk emas,” katanya lagi.
Pihaknya juga telah merekrut sejumlah relawan untuk turun ke masyarakat memberikan edukasi dan juga mempersiapkan wadah bagi masyarakat untuk tidak membuang minyak jelantah sembarangan.(r)